Menurut
Imam Nawawi, jumhur ulama’ baik salaf maupun khalaf mensunatkan memerdukan
suara saat membaca Al-Qur’an. Suara merdu bacaan Al-Qur’an menjadi panggilan
karena enak didengarkan dan dapat meluluhkan dan mempengaruhi hati
pendengarnya. Menurut jumhur ulama’ jika tipe suara pembaca Al-Qur’an tidak
merdu, hendaklah memerdukan semampunya. Namun jangan sampai keluar dari aturan
tajwid yang disampaikan oleh ulama ahli qiro’ah.
Nabi
Muhammad Saw melewati rumah Abu Musa Al-Asy’ari pada suatu pagi. Abu Musa
sedang membaca Al-Qur’an. Nabi Saw berkata : “Hai Abu Musa. Sungguh kamu telah
dikaruniai (Allah) seruling (suara yang merdu) dari seruling-serulingnya
keluarga Nabi Daud”. Abu Musa menjawab : “Kalaulah saya mengetahui anda
memperhatikan, saya tentu mengelokkan bacaan saya untuk Anda”. (Muttafaqun
‘Alaih). Nabi Daud as adalah orang yang paling bagus suaranya. Nabi Muhammad Saw
menyerupakan merdu dan manisnya lagu suara Abu Musa dengan suara seruling
karena adanya kesan atau pengaruh pada pendengarnya. Dari Al-Barra’ ra dia
berkata : “Saya mendengar Rasulullah Saw membaca surat At-Tin pada shalat
Isya’. Saya tidak pernah mendengar orang yang lebih merdu suaranya daripada
Nabi saw” (HR. Syaikhan).
Dari
Abu Hurairah ra Nabi Saw bersabda : “Tidak pernah Allah swt mendengar suati
seperti mendengarkan kemerduan lagu suara Al-Qur’an yang dikeraskan oleh Nabi”
(HR. Syaikhan). Dari Fudhalah bin Ubaid, sesungguhnya Nabi Saw bersabda :
“Allah sangat mendengarkan kemerduan suara Al-Qur’an dari seorang laki-laki yang
mempunyai budak yang tercukupi”. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al-Hakim
dan Al-Baihaqi).
Seseorang
bertanya kepada Ibn Abi Malikah : “Bagaimana pendapat anda jika seseorang tidak
mampu memerdukan suara ?”. Beliau menjawab : “Hendaknya memerdukan semampunya”.
Menurut para Ulama’, sebagaimana disampaikan pada kitab At-Tibyan, memerdukan
suara bacaan Al-Qur’an hukumnya sunat selagi tidak keluar dari batasan atau
berlebihan. Apabila melampau batas sehingga terjadi penambahan atau pengurangan
huruf, amaka hukumnya haram dan bisa dita’zir atau diberi hukuman yang
diputuskan penguasa karena perbuatan haram yang tidak ada batasan ketetapan
didalam syari’at guna melindungi kemaslahatan umum. Sebagian ulama’ salaf
melarang memerdukan suara, karena antisipasi (takut) jatuh pada keharaman ini.
Mereka sepakat mengharamkan lagu yang tidak cocok, seperti lagu-lagu populer,
karena menimbulkan lahn (salah pengucapan).
Menurut penulis Al-Itqan
Fi ’Uilumil Qur’an Jalaludin As-Suyuthi, banyak orang membuat bid’ah dalam
melagukan Al-Qur’an. Sebagian dari bid’ah itu antara lain :
01.
Tar’id
: yaitu melagukanAl-Qur’an dengan menggetarkan suara (orang) gemetar akibat
dingin atau sakit.
02.
Tarqis
: yaitu melagukan (seperti) melemparkan sesuatu yang diam kepada yang ada disuatu
tempat, kemudian berlari dengan gerakan (cepat) seperti menghadapi musuh atau
melarikan diri.
03.
Tathrib
: yaitu memerdukan dan melagukan Al-Qur’an dengan cara memanjangkan bacaan yang
semestinya tidak dibaca panjang atau menambah panjang dari panjang yang
semestinya.
04.
Tahrif
: yaitu melagukan Al-Qur’an dengan cara sekelompok orang membaca bersama
(koor), membuang sebagian huruf dan memanjangkan yang tidak panjang agar sesuai
dengan irama lagu yang dikehendaki.
Menurut
Ulama’ Syafi’iyyah, orang ynag membaca Al-Qur’an tidak boleh membaca lebih dari
ukuran panjang (mad) dan harakat. Misalnya, membaca fathah sepanjang alif,
dhammah sepanjang wawu, kasrah sepanjang ya’ atau membaca dengung pada bacaan
yang tidak semestinya tidak dibaca dengung (idgham), serta yang serupa dengan
itu yang menyalahi aturan resmi cabang ilmu qiro’ah. Larangan disini bermakna
haram. Namun apabila tidak melampaui batasan itu maka tidak apa-apa.
Imam
Al-Mawardi, salah seorang ulama’ Syafi’iyyah, berpendapat bahwa membaca dengan
mengeluarkan lafadz Al-Qur’an dari sighatnya dengan memasukkan (menambahkan)
atau mengeluarkan (mengurangi) harakat, mengurangi atau menambah panjang (mad),
menebalkan yang tipis dan memakaikan makna (akibat tambahan) adalah haram.
Orang yang melakukan Lahn Maudhu’ah ini berarti berbuat kefasikan dan orang
yang mendengarkannya mendapat dosa karena menyimpang dari jalan lurus kepada
jalan yang bengkok. Firman Allah swt : ”(ialah) Al-Qur’an dalam bahasa arab
yang tidak ada kebengkokan (didalamnya)” (QS. Az-Zumar : 28).
Sedang
apabila dalam mebaca Al-Qur’an tidak terjadi lahn dalam sighat dan membaca
secara tartil (sesuai dengan panjang pendeknya) maka diperbolehkan karena
kebagusannya sesuai tempatnya. Imam Nawawi menambahkan, lahn bacaan sebagimana
keterangan diatas merupakan bid’ah yang jelas-jelas haram. Pembaca dan
pendengarnya mendapat dosa, termasuk orang yang mampu menolak atau
membenarkannya tetapi tidak melakukannya. Bagi Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali,
berlebihan memanjangkan bacaan Al-Qur’an sehingga susunan Al-Qur’an menjadi
kacaui adalah haram. Memerdukan Al-Qur’an diperbolehkan selama tidak keluar
dari kaidah tajwid yang disampaikan Imam-imam ahli qiro’ah. Sedang bagi
Al-Kirmani, memerdukan, melagukan dan menyaringkan suara disunatkan selama tidak
keluar dari batas toleransi kebolehan lahn. Jika berlebihan sehingga terjadi
penambahan atau pengurangan huruf, maka hukumnya haram.
Menurut
Imam Ahmad yang dikutip oleh Ibn Qudamah Al-Hanbali dalam kitab Al-Muqniy,
membaca dengan lahn adalah makruh, karena merupakan bid’ah. Pendapat ini
mendasarkan pada sabda Nabi Saw bahwa termasuk syarat terjadinya hari kiamat
adalah orang-orang menjadikan Al-Qur’an sebagai kemerduan (yang berlebihan
sehingga terjadi lahn). Lahn dapat merubah kemu’jizatan lafal dan susunan
Al-Qur’an. Perubahan harakat menjadi (sepanjang) huruf atau memanjangkan yang
bukan pada tempatnya inilah yang dimakruhkan. Sedang memerdukan dan melagukan
Al-Qur’an adalah sunat, buykan makruh selama tidak terjadi perubahan lafal dan
penambahan huruf.
Menurut Al-Hafidh Ibnu
Hajar, kalangan ulama’ salaf tidak berbeda pendapat mengenai (hukum) memerdukan
suara. Mereka bersilang pendapat mengenai kedolehan lahn. Beberapa pendapat
mengenai lahn yaitu :
01.
Haram :
Hukum ini disampaikan oleh Imam Malik, Abu Al-Thayyib, Al-Mawardi dan Ibn
Hamdan Al-Hanbaliy.
02.
Makruh : Hukum ini menurut Ibn Bathal,
Iyadh, Al-Qurtubiy, Al-Mawadi dan Al-Ghazali.
03.
Mubah :
Hukum ini menurut sekelompok shahabat, tabi’in dan sebagian ulama’ syafi’iyah
dan hanafiyah.
Hiasilah
Al-Qur’an Dengan Suaramu
Menghiasi
Al-Qur’an merupakan keistimewaan Al-Qur’an yang secara khusus disampaikan Nabi
saw. Dari Al-Barra bin Azib berkata : Rasulullah Saw bersabda : ”Hiasilah
Al-Qur’an dengan suaramu, karena suara yang bagus menambah kebaikan Al-Qur’an”.
(HR. An-Nasai dan Al-Hakim).
Maksud
dari hadits diatas yaitu menghiasi Al-Qur’an dengan cara membaguskan suara
bacaan Al-Qur’an. Caranya dengan membaca secara tartil yang baik sesuai
perintah Allah swt dan tidak keluar dari aturan membaca (tajwid) karena
disepakati haram. Menurut Al-Hadawi dan Al-Khathabi dalam kitab An-nihayah,
dengan memablik (susunan) hadits, pengertiannya adalah hiasilah suaramu dengan
Al-Qur’an, bukan dengan nada ucapan dan lagu yang melengking. Al-Qur’an lebih
mulia menghiasi suara bagus, walaupun sebaliknya, suara berhak melagukan
Al-Qur’an.
Orang
Yang Tidak Melagukan Al-Qur’an
Melagukan
Al-Qur’an merupakan keistimewaan Al-Qur’an yang secara khusus disampaikan Nabi
saw, sabda Beliau : ”Bukan dari umatku orang yang tidak melantunkan Al-Qur’an”.
(HR. Abu Dawud). Dari Abu Hurairah ra dia berkata, Rasulullah Saw bersabda :
”Tidak pernah Allah mendengarkan sesuatu sebagaimana mendengarkan pada Nabi
merlagukan Al-Qur’an”. (HR. Bukhari).
Maksud
Allah mendengarkan lagu Al-Qur’an adalah Allah memberi pahala yang besar dan
kemuliaan orang yang melakukannya, bukan mendengarkan secara hakikat. Tujuan
melagukan Al-Qur’an untuk menarik orang membaca dan yang mendengarkannya masuk
pada (isi) Al-Qur’an dan merasa sedih dan menangis karena adzab yang
diberitakaanya. Karena menangis dalam mebaca Al-Qur’an merupakan kebiasaan dan
syi’ar para orang bijak dan hamba Allah yang shalih. Wallahu A’lam.