قال رســـول الله صلى الله عليـــه وسلـــم

ان اولـــى النـــاس بـــى منزلة يوم القيـــامة اڪثرهم علـــى صلاة

اللهم صل عـلـــے سيـــــدنـا محمـــد وعـلـــے ال سيـــــدنـا محمـــد


▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

Memerdukan Suara Bacaan Al-Qur'an


Menurut Imam Nawawi, jumhur ulama’ baik salaf maupun khalaf mensunatkan memerdukan suara saat membaca Al-Qur’an. Suara merdu bacaan Al-Qur’an menjadi panggilan karena enak didengarkan dan dapat meluluhkan dan mempengaruhi hati pendengarnya. Menurut jumhur ulama’ jika tipe suara pembaca Al-Qur’an tidak merdu, hendaklah memerdukan semampunya. Namun jangan sampai keluar dari aturan tajwid yang disampaikan oleh ulama ahli qiro’ah.

Nabi Muhammad Saw melewati rumah Abu Musa Al-Asy’ari pada suatu pagi. Abu Musa sedang membaca Al-Qur’an. Nabi Saw berkata : “Hai Abu Musa. Sungguh kamu telah dikaruniai (Allah) seruling (suara yang merdu) dari seruling-serulingnya keluarga Nabi Daud”. Abu Musa menjawab : “Kalaulah saya mengetahui anda memperhatikan, saya tentu mengelokkan bacaan saya untuk Anda”. (Muttafaqun ‘Alaih). Nabi Daud as adalah orang yang paling bagus suaranya. Nabi Muhammad Saw menyerupakan merdu dan manisnya lagu suara Abu Musa dengan suara seruling karena adanya kesan atau pengaruh pada pendengarnya. Dari Al-Barra’ ra dia berkata : “Saya mendengar Rasulullah Saw membaca surat At-Tin pada shalat Isya’. Saya tidak pernah mendengar orang yang lebih merdu suaranya daripada Nabi saw” (HR. Syaikhan).
 Dari Abu Hurairah ra Nabi Saw bersabda : “Tidak pernah Allah swt mendengar suati seperti mendengarkan kemerduan lagu suara Al-Qur’an yang dikeraskan oleh Nabi” (HR. Syaikhan). Dari Fudhalah bin Ubaid, sesungguhnya Nabi Saw bersabda : “Allah sangat mendengarkan kemerduan suara Al-Qur’an dari seorang laki-laki yang mempunyai budak yang tercukupi”. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Al-Baihaqi).
Seseorang bertanya kepada Ibn Abi Malikah : “Bagaimana pendapat anda jika seseorang tidak mampu memerdukan suara ?”. Beliau menjawab : “Hendaknya memerdukan semampunya”. Menurut para Ulama’, sebagaimana disampaikan pada kitab At-Tibyan, memerdukan suara bacaan Al-Qur’an hukumnya sunat selagi tidak keluar dari batasan atau berlebihan. Apabila melampau batas sehingga terjadi penambahan atau pengurangan huruf, amaka hukumnya haram dan bisa dita’zir atau diberi hukuman yang diputuskan penguasa karena perbuatan haram yang tidak ada batasan ketetapan didalam syari’at guna melindungi kemaslahatan umum. Sebagian ulama’ salaf melarang memerdukan suara, karena antisipasi (takut) jatuh pada keharaman ini. Mereka sepakat mengharamkan lagu yang tidak cocok, seperti lagu-lagu populer, karena menimbulkan lahn (salah pengucapan).

Menurut penulis Al-Itqan Fi ’Uilumil Qur’an Jalaludin As-Suyuthi, banyak orang membuat bid’ah dalam melagukan Al-Qur’an. Sebagian dari bid’ah itu antara lain :
01.   Tar’id : yaitu melagukanAl-Qur’an dengan menggetarkan suara (orang) gemetar akibat dingin atau sakit.
02.   Tarqis : yaitu melagukan (seperti) melemparkan sesuatu yang diam kepada yang ada disuatu tempat, kemudian berlari dengan gerakan (cepat) seperti menghadapi musuh atau melarikan diri.
03.   Tathrib : yaitu memerdukan dan melagukan Al-Qur’an dengan cara memanjangkan bacaan yang semestinya tidak dibaca panjang atau menambah panjang dari panjang yang semestinya.
04.   Tahrif : yaitu melagukan Al-Qur’an dengan cara sekelompok orang membaca bersama (koor), membuang sebagian huruf dan memanjangkan yang tidak panjang agar sesuai dengan irama lagu yang dikehendaki.

Menurut Ulama’ Syafi’iyyah, orang ynag membaca Al-Qur’an tidak boleh membaca lebih dari ukuran panjang (mad) dan harakat. Misalnya, membaca fathah sepanjang alif, dhammah sepanjang wawu, kasrah sepanjang ya’ atau membaca dengung pada bacaan yang tidak semestinya tidak dibaca dengung (idgham), serta yang serupa dengan itu yang menyalahi aturan resmi cabang ilmu qiro’ah. Larangan disini bermakna haram. Namun apabila tidak melampaui batasan itu maka tidak apa-apa.

Imam Al-Mawardi, salah seorang ulama’ Syafi’iyyah, berpendapat bahwa membaca dengan mengeluarkan lafadz Al-Qur’an dari sighatnya dengan memasukkan (menambahkan) atau mengeluarkan (mengurangi) harakat, mengurangi atau menambah panjang (mad), menebalkan yang tipis dan memakaikan makna (akibat tambahan) adalah haram. Orang yang melakukan Lahn Maudhu’ah ini berarti berbuat kefasikan dan orang yang mendengarkannya mendapat dosa karena menyimpang dari jalan lurus kepada jalan yang bengkok. Firman Allah swt : ”(ialah) Al-Qur’an dalam bahasa arab yang tidak ada kebengkokan (didalamnya)” (QS. Az-Zumar : 28).

Sedang apabila dalam mebaca Al-Qur’an tidak terjadi lahn dalam sighat dan membaca secara tartil (sesuai dengan panjang pendeknya) maka diperbolehkan karena kebagusannya sesuai tempatnya. Imam Nawawi menambahkan, lahn bacaan sebagimana keterangan diatas merupakan bid’ah yang jelas-jelas haram. Pembaca dan pendengarnya mendapat dosa, termasuk orang yang mampu menolak atau membenarkannya tetapi tidak melakukannya. Bagi Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali, berlebihan memanjangkan bacaan Al-Qur’an sehingga susunan Al-Qur’an menjadi kacaui adalah haram. Memerdukan Al-Qur’an diperbolehkan selama tidak keluar dari kaidah tajwid yang disampaikan Imam-imam ahli qiro’ah. Sedang bagi Al-Kirmani, memerdukan, melagukan dan menyaringkan suara disunatkan selama tidak keluar dari batas toleransi kebolehan lahn. Jika berlebihan sehingga terjadi penambahan atau pengurangan huruf, maka hukumnya haram.

Menurut Imam Ahmad yang dikutip oleh Ibn Qudamah Al-Hanbali dalam kitab Al-Muqniy, membaca dengan lahn adalah makruh, karena merupakan bid’ah. Pendapat ini mendasarkan pada sabda Nabi Saw bahwa termasuk syarat terjadinya hari kiamat adalah orang-orang menjadikan Al-Qur’an sebagai kemerduan (yang berlebihan sehingga terjadi lahn). Lahn dapat merubah kemu’jizatan lafal dan susunan Al-Qur’an. Perubahan harakat menjadi (sepanjang) huruf atau memanjangkan yang bukan pada tempatnya inilah yang dimakruhkan. Sedang memerdukan dan melagukan Al-Qur’an adalah sunat, buykan makruh selama tidak terjadi perubahan lafal dan penambahan huruf.

Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar, kalangan ulama’ salaf tidak berbeda pendapat mengenai (hukum) memerdukan suara. Mereka bersilang pendapat mengenai kedolehan lahn. Beberapa pendapat mengenai lahn yaitu :
01.     Haram : Hukum ini disampaikan oleh Imam Malik, Abu Al-Thayyib, Al-Mawardi dan Ibn Hamdan Al-Hanbaliy.
02.     Makruh : Hukum ini menurut Ibn Bathal, Iyadh, Al-Qurtubiy, Al-Mawadi dan Al-Ghazali.
03.     Mubah : Hukum ini menurut sekelompok shahabat, tabi’in dan sebagian ulama’ syafi’iyah dan hanafiyah.

Hiasilah Al-Qur’an Dengan Suaramu

Menghiasi Al-Qur’an merupakan keistimewaan Al-Qur’an yang secara khusus disampaikan Nabi saw. Dari Al-Barra bin Azib berkata : Rasulullah Saw bersabda : ”Hiasilah Al-Qur’an dengan suaramu, karena suara yang bagus menambah kebaikan Al-Qur’an”. (HR. An-Nasai dan Al-Hakim).

Maksud dari hadits diatas yaitu menghiasi Al-Qur’an dengan cara membaguskan suara bacaan Al-Qur’an. Caranya dengan membaca secara tartil yang baik sesuai perintah Allah swt dan tidak keluar dari aturan membaca (tajwid) karena disepakati haram. Menurut Al-Hadawi dan Al-Khathabi dalam kitab An-nihayah, dengan memablik (susunan) hadits, pengertiannya adalah hiasilah suaramu dengan Al-Qur’an, bukan dengan nada ucapan dan lagu yang melengking. Al-Qur’an lebih mulia menghiasi suara bagus, walaupun sebaliknya, suara berhak melagukan Al-Qur’an.

Orang Yang Tidak Melagukan Al-Qur’an

Melagukan Al-Qur’an merupakan keistimewaan Al-Qur’an yang secara khusus disampaikan Nabi saw, sabda Beliau : ”Bukan dari umatku orang yang tidak melantunkan Al-Qur’an”. (HR. Abu Dawud). Dari Abu Hurairah ra dia berkata, Rasulullah Saw bersabda : ”Tidak pernah Allah mendengarkan sesuatu sebagaimana mendengarkan pada Nabi merlagukan Al-Qur’an”. (HR. Bukhari).

Maksud Allah mendengarkan lagu Al-Qur’an adalah Allah memberi pahala yang besar dan kemuliaan orang yang melakukannya, bukan mendengarkan secara hakikat. Tujuan melagukan Al-Qur’an untuk menarik orang membaca dan yang mendengarkannya masuk pada (isi) Al-Qur’an dan merasa sedih dan menangis karena adzab yang diberitakaanya. Karena menangis dalam mebaca Al-Qur’an merupakan kebiasaan dan syi’ar para orang bijak dan hamba Allah yang shalih. Wallahu A’lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

ﻠيس اﻠفٺــے من يقول کان ابــــے ۞ لکن اﻠفٺــــے من يقول هـا انــــــا

Bukanlah Pribadi Seorang Pemuda Itu Yang Mengatakan : “Kae Hlo Bapakku..!

Tapi, Seorang Pemuda Sejati Itu Yang Berkata : “Iki Hlo Aku..!”

By Myself