Jumlah
hitungan rakaat shalat tarawih adalah hal yang sering dijadikan ladang
permusuhan dan perselisihan oleh orang-orang di luar lingkungan warga
Ahlussunnah wal Jama’ah. Hampir setiap bulan Ramadhan selalu saja terjadi
perselisihan antara yang mengikuti jumlah hitungan 20 rakaat shalat tarawih dan
yang mengikuti jumlah hitungan 8 rakaat.
Menurut
ijma’ Ahlussunnah wal Jama’ah, shalat tarawih adalah termasuk shalat sunah
Ramadhan yang disyari’atkan dan termasuk shalat sunah mu’akkad. Sedangkan
jumlah hitungan rakaatnya para ulama masih berselisih. Menurut madzhab Syafi’i,
Hanbali dan Hanafi jumlah rakaatnya adalah 20 rakaat. Sedangakan menurut
madzhab Maliki, dalam salah satu riwayat, jumlah rakaatnya adalah 36 rakaat.
Riwayat lain dalam madzhab Maliki mengatakan jumlah rakaatnya adalah 20 rakaat
sama dengan madzhab-madzhab yang lain.
Dari
perbedaan penentuan rakaat oleh ulama-ulama di atas, diketahui bahwa andai ada
penetapan jumlah rakaat tarawih dari Rasulullah tentu ulama-ulama di atas tidak
akan berselisih. Oleh karena itu, jika muncul pendapat yang mengatakan bahwa
shalat tarawih harus dilakukan dengan 8 rakaat seperti halnya yang dilakukan
Rasulullah saw adalah pendapat yang tidak tepat dan menyelisih pendapat
imam-imam madzhab tersebut. Namun andai ada orang yang mengikuti tarawih dengan
jumlah 8 rakaat, maka seyogyanya tidak mencela orang yang melakukan tarawih 20
rakaat, demi menjaga persatuan umat Islam yang semakin hari semakin luntur
karena nafsu dan syahwat untuk tampil berbeda.
Berikut kita bahas dalil-dalil penetapan jumlah
rakaat shalat tarawih menurut ulama. Hadits-hadits tentang jumlah rakaat tarawih dibagi
menjadi 3 bagian :
1.
Dalil yang mengatakan jumlah
rakaat yang dilakukan oleh Rasulullah adalah 8 rakaat.
Hadits tentang hal ini adalah shahih sebagaimana
termaktub dalam kitab hadits Shahih Ibni Huzaimah dan Shahih Ibni Hibban serta
didukung riwayat al-Bukhari dari ‘Aisyah saat ditanya tentang jumlah rakaat
qiyam Ramadhan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw, hadits Jabir bin Abdillah
(Shahih Ibni Huzaimah) yang artinya : “Rasulullah shalat bersama kami delapan rakaat dan witir.
Kemudian pada malam berikutnya kami berkumpul di dalam masjid dan berharap Rasulullah
akan keluar (untuk shalat) bersama kami. Namun, beliau tak kunjung keluar
sampai shubuh tiba. Kemudian kami masuk ke (rumah) Rasulullah dan kami bertanya
: ’Wahai Rasulullah, kami menunggu engkau keluar untuk shalat bersama kami,
Kemudian Rasulullah bersabda : ’Aku tidak mengharapkan jika witir akan diwajibkan
atas kalian”.
Hadits ‘Aisyah (Shahih al-Bukhari) : Aisyah
ditanya : ”Bagaimana
Rasulullah menjalankan shalat Ramadhan..? Beliau menjawab : Rasulullah dalam Ramadhan
atau waktu lain tidak pernah menambahi lebih dari 11 rakaat, beliau shalat 4
rakaat, maka kamu jangan bertanya tentang bagusnya dan panjangnya, Kemudian
beliau juga shalat 4 rakaat, maka kamu jangan bertanya tentang bagusnya dan
panjangnya, Kemudian beliau shalat 3 rakaat, Aku bertanya kepada Rasulullah : ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau
tidur sebelum melakukan witir..?’ Rasulullah menjawab:
‘Wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tertidur tapi hatiku tidak”.
Para ulama termasuk as-Subki dalam syarah
al-Minhaj berpandangan bahwa tidak ada hadits yang dapat dinukil berapa
kepastian jumlah rakaat tarawih yang dilakukan oleh Rasulullah pada malam
Ramadhan, apakah 20 rakaat atau kurang, pernyataan as-Subki tersebut masuk
akal, karena hadits riwayat di atas bukan jumlah pasti yang di lakukan oleh Rasulullah,
artinya ada kemungkinan Rasulullah menyempurnakan menjadi 20 rakaat di rumah
beliau sendiri atau sebelum berangkat ke masjid beliau sudah melakukannya di
rumah dan disempurnakan di masjid bersama dengan para shahabat. Selain dari
pada itu, andai hadits jumlah rakaat tarawih di atas adalah satu ketetapan yang
dilakukan Rasulullah, tentunya para imam-imam madzhab di atas tidak berselisih
dalam menentukan jumlah rakaatnya. Dan ini yang tidak difahami oleh banyak
pihak.
2.
Dalil yang mengatakan bahwa Rasulullah
Saw melakukan shalat tarawih 20
rakaat.
Sebagaimana dalam riwayat al-Baihaqi dari
Abdullah bin Abbas, Ibnu Abi Syaibah dalam Musnad-nya juga dari Abdullah bin
Abbas, al-Baghawi dalam al-Mu‘jam dan juga ath-Thabarani. Namun, menurut Imam
as-Suyuthi dan ulama lain, hadits-hadits tentang tarawih 20 rakaat adalah
dha‘if sekali sehingga sama sekali tidak dapat dijadikan hujjah.
3.
Dalil hadits shahih riwayat
dalam Sunan al-Baihaqi dari Saib bin Yazid.
Bahwa para shahabat Rasulullah bertarawih pada
bulan Ramadhan di zaman Sayyidina ‘Umar dengan jumlah rakaatnya 20 rakaat, jika
tarawih 20 rakaat ada di zaman Rasulullah tentu haditsnya disebutkan, karena
bersandar dalil hadits langsung dari Rasulullah (marfu’) tentu lebih baik dan
lebih kuat dalam berhujjah, memang sebelumnya Sayyidina ‘Umar pernah
memerintahkan bertarawih 8 rakaat seperti yang dilakukan oleh Rasulullah, namun
pada akhirnya beliau tambah menjadi 20 rakaat, dari apa yang dilakukan
Sayyidina ‘Umar tersebut menjadi ijma’ shahabat bahwa hitungan rakaat tarawih
adalah 20 rakaat dan itu dilakukan juga pada zaman Sayyidina ‘Utsman dan
Sayyidina Ali bin Abi Thalib hingga sekarang.
Dari dalil hadits-hadits di atas, dapat
disimpulkan bahwa hadits yang dapat dijadikan hujjah adalah hadits nomor satu dan nomor tiga, lalu muncul pertanyaan,
kenapa Sayyidina ‘Umar bin Khaththab Ra melakukan tarawih 20 rakaat dan menyelisih hadits shahih di atas..?
Untuk menjawab masalah ini, para ulama berbeda
pendapat, Imam as-Suyuthi dalam al-Hawi lil Fatawi menjelaskan bahwa jumlah rakaat
tarawih di zaman Rasulullah tidak dengan 20 rakaat (karena tidak ada hadits
yang dapat dijadikan hujjah tentang itu), dengan demikian, apa yang dikerjakan
oleh ‘Umar tersebut adalah termasuk kategori bid’ah hasanah sebagaimana dalam
pernyataannya: “Nikmat-nikmatnya
bid’ah adalah ini (tarawih 20 rakaat berjamaah)”, hal ini juga yang
dijelaskan oleh ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam (dalam Qawa‘id al-Ahkam) yang membagi
bid’ah menjadi 5 bagian serta mencontohkan bid’ah mandubah dengan shalat
tarawih berjamaah, namun mengenai bid’ah hasanah yang dilakukan oleh Umar
tersebut di nilai legal secara hukum syara’, bahkan ketetapan ini juga
dikuatkan dengan pernyataan Imam asy-Syafi’i yang mengatakan: “Hal-hal baru dapat
dibagi menjadi dua : pertama, adalah hal baru yang menyelisih al-Qur’an,
as-Sunnah, ucapan shahabat (atsar) dan ijma’ maka termasuk bid’ah sesat, kedua,
hal-hal baru yang baik (tidak menyelisih dalil di atas) maka termasuk hal baru
yang tidak sesat”.
Sementara itu, ulama yang lain memberikan jawaban berbeda dengan apa yang
disampaikan as-Suyuthi tersebut. Imam Abu Hanifah pernah ditanya tentang
tarawih 20 rakaat yang dilakukan oleh Sayyidina ‘Umar bin Khaththab. Beliau
menjawab: “Tarawih adalah sunah mu’akkad dan ‘Umar
tidak akan mencetuskannya dari dirinya sendiri, dia juga bukan orang yang
membuat hal baru (bid’ah) jumlah rakaatnya dan dia tidak akan memerintahkannya
(melakukan tarawih 20 rakaat) kecuali dari dalil yang difahaminya dan dalil
tentang tarawih yang sunah dikerjakan pada zaman Nabi dari Rasulullah Saw”.
Pernyataan Abu Hanifah ini sekaligus mendukung pendapat sebagian kalangan
Syafi’iyyah bahwa Rasulullah pada malam Ramadhan hari ke 23, 25 dan 27
mengerjakan shalat tarawih bersama para shahabat 8 rakaat, akan tetapi, beliau
menyempurnakannya di rumah dengan sendirian atau sebelum berangkat ke masjid
sudah mengerjakannya 12 rakaat dan di sempurnakan di masjid 8 rakaat, hal ini
dapat dibuktikan, para shahabat setelah melakukan shalat tarawih bersama Rasulullah
8 rakaat terdengar di rumah-rumah mereka suara berdengung seperti suara tawon,
keterangan ini disampaikan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfah al-Muhtaj,
asy-Syarwani dalam Hasyiyah-nya, al-Bujairami, Abdullah asy-Syarqawi dalam
Hasyiyah asy-Syarqawi dan Sayyid Alawi as-Saqqaf dalam Tarsyih al-Mustafidin,
Al-Bujairami mengatakan : ”Jika kamu bertanya :
Ulama sepakat bahwa tarawih adalah 20 rakaat, sementara yang dilakukan oleh
Rasulullah adalah 8 rakaat..? Aku menjawab : mereka (Rasulullah dan para
shahabat) menyempurnakan menjadi 20 rakaat di rumahnya masing-masing, dengan
dalil ketika para shahabat pulang ke rumahnya masing-masing, di dengar suara
mereka seperti suara kumbang. Dan Rasulullah hanya shalat 8 rakaat saja bersama
mereka dan tidak 20 rakaat karena Rasulullah belas kasih terhadap mereka”.
Dengan begitu, perkataan ’Umar saat membuat tarawih bersama dan
mengatakan hal itu termasuk bid’ah, maksudnya adalah mengumpulkan tarawih
dengan satu imam. Sebab, Rasulullah tidak pernah mengumpulkan orang-orang untuk
shalat tarawih dengan satu imam, atau pernah berjamaah akan tetapi kemudian
tidak melakukannya kembali sampai pada masa ’Umar bin Khaththab. Andaikan hal
itu ada anjuran dari Rasulullah tentu Abu Bakar juga melakukannya, tapi
nyatanya tidak, sebagian ulama ahli fiqh mengatakan bahwa dalil penentuan 20
rakaat tarawih berdasar hadits dhaif dan ijma’ shahabat.
Jadi kesimpulannya, sunah tarawih 20 rakaat
adalah berdasar ijma’ para shahabat Rasulullah yang taqrir (setuju) terhadap
apa yang dikerjakan Sayyidina ’Umar bin Khaththab yang memerintahkan shalat
tarawih 20 rakaat. Bukankah Rasulullah -sebagaimana dalam hadits riwayat
at-Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah dan lain-lain- memerintahkan kepada kita untuk
mengikuti sunnah mereka, ”Ikutilah dua shahabat setelahku, Abu Bakar dan
‘Umar”.
Lalu bagaimana menjawab pernyataan sebagian kalangan bahwa shalat tarawih
yang sesuai sunnah Rasulullah adalah dilaksanakan dengan jumlah 11 rakaat atas
dasar hadits riwayat Imam Malik dalam al-Muwaththa', al-Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, an-Nasa'i dan at-Tirmidzi dari Aisyah, berikut ini adalah jawaban yang
harus di sampaikan.
Dalam hadits riwayat di atas, di sebutkan bahwa Abu Salamah bin
Abdurrahman bin Auf bertanya kepada Aisyah tentang shalat Rasulullah di bulan
Ramadlan, kemudian di jawab bahwa Rasulullah baik di bulan Ramadlan maupun
bulan yang lain tidak pernah melaksanakan shalat lebih dari 11 rakaat, cara
beliau mengerjakannya adalah shalat 4 rakaat (2 Salam), shalat 4 rakaat lagi
dan kemudian di tambah 3 rakaat, sebagian kalangan memang mengambil lahiriyyah
hadits di atas dan mengatakan "Ini adalah as-Sunnah yang di syariatkan,
san sungguh, menambahi jumlah hitungan di atas adalah bid'ah dalam agama dan
pelakunya adalah mubtadi' yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah",
pernyataan seperti itu adalah muncul dari pemahaman yang sempit dan pemikiran
yang tidak cerdas. Pernyataan tersebut juga di anggap salah karena selain
terdapat riwayat hadits shahih mengenai 8 rakaat dan 20 rakaat yang di lakukan
oleh Sayyidina Umar di atas, juga riwayat hadits Aisyah di atas di keluarkan
berbeda-beda dari sisi riwayat dan semuanya tergolong shahih.
Menurut Qadli Iyadl, hadits Aisyah dari riwayat Said bin Hisyam 9 rakaat,
riwayat Urwah 11 rakaat termasuk witir serta setiap 2 rakaat salam, riwayat
Urwah yang lain 13 rakaat termasuk shalat sunah fajar, sebagian riwayat 7 atau
9 rakaat, sebagian riwayat 11 rakaat serta setiap 4 rakaat salam, sebagian
riwayat 13 rakaat (yang 8 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir serta di tambah 2
rakaat dengan duduk).
Menanggapi pernyataan bahwa "Andai Rasulullah melakukan lebih dari
11 rakaat, niscaya Aisyah akan mengetahuinya" adalah pernyataan yang
sangat mengherankan, karena, sebagaimana yang di sampaikan oleh al-Laknawi,
bahwa Rasulullah melakukan 13 rakaat di rumah istri beliau yang lain yaitu
Maimunah dan Aisyah sendiri tidak mengetahuinya. Bahkan shalat sunat dhuha yang
di lakukan oleh Rasulullah, Aisyah pun tidak mengetahuinya sebagaimana yang
tercatat dalam Shahih al-Bukhari, Muslim dan lain-lain saat Aisyah di tanya
apakah Rasulullah melaksanakan shalat dhuha, Aisyah menjawab tidak.
Menurut as-Suyuthi dalam salah satu risalahnya,
mengatakan bahwa Rasulullah tidak selalu menetap di rumah Aisyah setiap saat,
akan tetapi terkadang beliau juga pergi, berada di masjid atau menggilir
istri-istrinya.
Maka dengan keterangan ini semua, pernyataan
Aisyah bahwa Rasulullah tidak melaksanakan tarawih lebih dari 11 rakaat tidak
bisa di artikan sebagai larangan melakukan tarawih dengan jumlah lebih, karena
ada kemungkinan Rasulullah melakukan tarawih 20 rakaat di masjid atau di rumah
istri beliau yang lain, sementara di rumah Aisyah, beliau hanya mengerjakan 11
rakaat.
Begitulah madzhab Ahlussunnah wal Jama‘ah. Maka jika ada yang ingin mengerjakan 8 atau 11 atau 13 rakaat, dipersilahkan, namun jangan memaksakan kehendak dengan mencaci-maki kelompok lain yang mengerjakan 20 rakaat.
Begitulah madzhab Ahlussunnah wal Jama‘ah. Maka jika ada yang ingin mengerjakan 8 atau 11 atau 13 rakaat, dipersilahkan, namun jangan memaksakan kehendak dengan mencaci-maki kelompok lain yang mengerjakan 20 rakaat.
Kami tidak mengingkari jika ada yang memilih 8
rakaat, 13 rakaat atau 11 rakaat. Yang harus di ingkari dengan keras adalah
mencela dan menganggap bid'ah sesat kepada muslim lain yang melaksanakan
tarawih 20 rakaat karena mengikuti ijma' shahabat Rasulullah Saw dan yang semestinya dipermasalahkan adalah
mereka yang tidak melakukan shalat tarawih. Wallau Ta’ala A’lam,..