Kehidupan
semua Nabi dan Rosul Allah Swt penuh dengan kisah-kisah tentang puasa. Baik
puasa secara harfiah langsung maupun puasa dalam pemaknaannya yang lebih luas.
Bukankah segala perkara yang kita alami bersama selama beratus-ratus abad di
muka bumi dimulai dan disebabkan oleh Baginda Nabi Adam As yang “mokel”..?
yang seharusnya menahan diri tak memakan buah larangan itu tetapi Beliau
memakannya..?
Seandainya
Allah Swt mengkonsep suatu takdir yang lain, dimana Nabi Adam As bersetia tidak
menyentuh larangan, maka apakah sekarang ini kita perlu repot dengan kacaunya
pemerintahan negara kita..? dengan tidak amanahnya wakil rakyat yang carut
marut disana..? dan dengan beribu masalah sosial, politik dan ekonomi nasional..?.
Kita tentu sudah “adem ayem tentrem” di surga Jannatun Na’im
tanpa perang dan kecemburuan, tanpa pergaulan yang menjadi kacau oleh kejahatan
dan kebodohan yang tak pernah disadari sebagai kejahatan dan kebodohan, tanpa
pembengkakan problem-problem sosial yang tak habisnya.
Tetapi,
memang salah satu metode “dialektika” untuk menciptakan dinamika
kehidupan manusia dirancang oleh Allah Swt adalah fenomena laku puasa. Allah
Swt sendiri bersifat sangat “romantik” terhadap puasa dan dalam berbagai
kisah menunjukkan berapa Ia amat sangat menyediakan cinta kasih yang khusus
kepada hamba-Nya yang sedang puasa. Para pelaku puasa seakan-akan selalu
dipeluk-Nya, didekap dan selalu disayangi oleh-Nya. Kemudian, kalau ada orang
lain yang mengganggunya, Allah Swt bersegera mebela dengan penuh melintasi.
Anda
kenal dengan kisah seorang pengembara bernama “Zamyal..?” Ia berjalan
dari padang ke padang, dari gurun ke gurun, dari benua ke benua, dari cakrawala
ke cakrawala, meskipun tak banyak orang lain yang mengetahui bahwa ia
senantiasa mengembara. Di dalam pengembaraanya, ia senantiasa berpuasa meskipun
orang tak memahami bahwa ia sedang berpuasa. Bahkan, seorang Nabi besar yang
alim dan sholih. Nabi Ya’cub As pun terjebak, tak memahami dan tak
mempercayainya.
Pada
suatu sore menjelang maghrib, Zamyal menghampiri rumah Nabi Ya’cub As dan
mengetuk pintunya; “Ya Ashabul Bait..! berilah orang asing yang lapar
ini makanar sekadarnya yang berasal dari sisa makanan kalian”. Berkali-kali ia
mengucapkan kalimat itu dengan wajah yang dibuatnya tampak menderita, padahal
jiwanya sangat bahagia di hadapan Allah Swt karena laku puasanya. Namun Nabi
Ya’cub As dan keluarganya tak acuh terhadapnya, tidak memperdulikan
permintaannya dan membiarkannya berlalu dengan perut kosong. Zamyal kemudian
melewati seluruh malam dengan lapar dan menjalani pagi hari berikutnya dalam
lapar, sementara keluarga Nabi besar ini berbuka puasa dengan penuh kenikmatan,
kemudian masih menyisakan makanan hingga pagi harinya.
Tidak
ada saat-saat nikmat melebihi situasi lapar, asing dan sepi dihadapan Allah
Swt. Tidak ada kebahagiaan dunia melebihi mengucurnya air mata ketika seseorang
meratapkan duka deritanya di hadapan Allah Swt. Zamyal tidak pernah menangis
dihadapan manusia, tetapi ia menumpahkan segala kecengengannya didepan lutut
Allah Swt. Sungguh tak ada anugerah yang kenyamanannya melebihi keadaan diri
terbuang dan terkutuk oleh manusia tetapi ditangiskan kehadirat-Nya.
Maka, demi
mendengar Zamyal “madul” kepada-Nya, Allah Swt langsung bangkit dan
menggertakkan amarah-Nya kepada Nabi Ya’cub As ; ”Kenapa wahai Ya’cub,
engkau tidak mengasihi hamba-Ku yang kehidupan sehari-harinya bersahaja
terhadap nikmat dunia..? Ia terusir dengan ketakacuhanmu, kemudian pergi dan
mengadukan derita hatinya kepada-Ku. Tahukah engkau Ya’cub, bahwa hukuman bagi
kekasih-Ku lebih cepat datangnya dibanding dengan hukuman bagi
musuh-musuh-Ku..? Tahukah engkau bahwa hal itu Ku-sengaja karena besarnya
pernghormatan-Ku kepada kekasih-kekasih-Ku. Sementara musuh-musuh-Ku,
Ku-abaikan terlarut dalam lautan dosa-dosanya yang tak mereka ketahui bahwa itu
suatu dosa..?
Beberapa
tahun kemudian, Nabi Ya’cub As kehilangan Nabi Yusuf As, putra yang amat
disayanginya. Dan sejak itulah berlangsung kisah-kisah legendaris tentang sumur
dan pedagang, tentang penjara dan ramalan mimpi, tentang menteru keuangan dan Siti Zulaikha
dan sebagainya. Unjung dari kisah-kisah itu berupa happy ending. Sejak
awal hukuman itu, Nabi Ya’cub As menginsafi kesalahan hidupnya, tetapi tetap
harus menempuh waktu yang cukup panjang hingga akhirnya menemukan ketenteraman
kembali bersama Nabi Yusuf As yang besar dan anggun.
Itulah
yang saya sebut dialektika dinamik, adegan-adegan spektakuler Nabi Yusuf As
yang menyayangkut seluruh kerajaan dimana mereka hidup, yang berhubungan dengan
proses penghayatan nilai-nilai puasa, kesetiaan dan kesantunan sosial dimulai
oleh sebuah adegan yang sederhana – dimana “figuran” yang bernama Zamyal
berjalan tersaruk-saruk menuju pintu rumah Nabi Ya’cub As.
Karena
semua itu dialektika, hukuman bisa pada akhirnya bermakna bukan hukuman,
sesudah ia melampaui realivitas waktu, serta sesudah pihak yang terhukum
mengerti bagaimana bersikap dan menghikmahinya. Hukuman, apalagi dari Allah
Swt, justru bisa menjadi jalan menuju kemuliaan baru, sebagaimana Nabi Ya’cub
As. Apalagi yang dihukum adalah kekasih-Nya. Itulah memang “Jenis adegan
kehidupan” yang dikehendaki oleh Allah Swt. Bukannya suatu tema dan lakon
kehidupan dimana Nabi Adam As dan anak cucunya hidup tentram namun monoton di
surga sejak hari pertama hingga hari terakhir takdir kehidupan.
Dan
akhirnya, ingatlah..! kalau Allah Swt menghukum, Ia jua yang kemudian
mengampuni dan mengasihi. Kalau Allah Swt yang menghukum, Ia jualah yang
mengusap air mata penyesalanmu. Hukuman itu justru membuktikan kekekalan
Cinta-Nya. Bukankah tahap pertama hukuman terhadap Nabi Ya’cub As itu justru
berupa impian indah Nabi Yusuf As tentang rembulan, matahari dan bintang
gemintang..? Bukankah dengan demikian hukuman Allah Swt kepada kekasih-Nya itu
sesungguhnya sebuah kemesraan juga. Wallahu A’lam,..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar