Bersegera
Marah Untuk Bersegera Mengampuni
Allah Swt
mensifati dirinya dengan sekurang-kurangnya empat watak atau sifat ‘sosial’
yang secara langsung menunjukkan kepemaafan-Nya. Keempatnya yakni at-Tawwab
(Dzat Yang Maha Menerima Taubah), al-‘Afuwwu (Yang Maha Memaafkan), al-Ghafur
dan al-Ghaffar (Yang masing-masing berarti Dzat Yang Maha Mengampuni, namun
kodrat-Nya mungkin berbeda). Disekelilingnya terdapat banyak sifat lain yang
indikatif terkadap sifat memaafkan. Misalnya ar-Rahman (Yang Maha
Pengasih), ar-Rahim (Yang Maha Penyayang, al-Lathif (Yang Maha
Lembut), ar-Ra’uf (Yang Maha Berbelas Kasih, al-Wadud (Yang Maha
Penabur Karunia), as-Syakur (Yang Maha Pensyukur), as-Salam (Maha
Penjamin Keselamatan), al-Mu’min (Maha Pengaman), al-Fattah (Maha
Pembuka) dan lain sebagainya.
‘Afuwwu
mungkin menunjukkan konteks standar dan permaafan, sementara tawwab
disediakan oleh Allah Swt dalam diri-Nya buat peristiwa-peristiwa yang lebih
besar, dimana manusiaperobatan dalam arti mendasar dan menyeluruh. Ghafur
selalu dibarengkan oleh-Nya dengan sifat
Rahim (Ghafur-Rahim) : konteksnya lebih ‘sosial’ dibanding
Ghaffar, Rahman menjelaskan sifat personal ; bahwa ada atau tidak
ada yang perlu dikasihi, Allah Swt sendiri tetap Dzat Yang Maha Pengasih, namun
tatkala menyebut diri-Nya Rahim ; Dzat Yang Maha Penyayang, ada
sebab-sebab ‘historis’ untuk menerapkannya. Demikian juga mestinya nuansa Ghaffar.
Sementara itu,
memakai pendekatan intelektual-logis maupun rasa, kita menangkap bahwa
sifat-sifat-Nya yang diatas saya sebutkan indikatif terhadap pemaafan dan
pengampunan, senantiasa berlaku berlaku untuk mengolah proses pembersihan
dan penyucian diri manusia, melalui kemungkinan dimaafkan dan diampuni
oleh-Nya. Kita membayangkan : dengan sifat kelembutan-Nya, kasih dan sayang-Nya,
penaburan Karunia-Nya, penjaminan keamanan dari-Nya –betapa mungkin Allah Swt
akan tega tidak memaafkan dan mengampuni kita, kecuali untuk dosa-dosa kita
yang secara tegas Ia menyatakan tak bisa diampuni..?. Tapi tentu saja sepanjang
sejarah Islam terdapat ratusan tafsir atas sifat-sifat itu, yang resmi maupun
yang liar, dan yang dilakukan oleh siapa saja dalam pengalaman sehari-hari.
Kepada kekasih-kekasih-Nya,
Allah swt selalu cepat marah dan menegur kalau mereka melakukan kesalahan. Kenapa..?
barangkali karena Ia juga ingin segera menerima pengajuan pertobatan, kemudian
ingin juga segera memaafkan dan menngampuni. Sementara kepada manusia-manusia
yang berprilaku memusihi-Nya, Allah Swt cenderung membiarkannya
berpanjang-panjang dalam kesalahannya, tidak menegur atau mempperingatkannya,
karena mungkin memang tidak ada rancangan tahap berikutnya yakni memaafkan dan
mengampuni.
Manusia
Fiqh, Manusia Akhlaq, Manusia Taqwa
Mungkin kita
bersalam-salaman Lebaran dala hati Anda bergumam : “Sudah pasti aku memaafkanmu
dan aku berharap sudah pasti pula engkau memaafkanku –Dengan atau tanpa
pertemuan dan ucapan seperti ini. Allah Swt saja menyediakan empat sifat
pemaaf, bagaimana mungkin manusia memiliki kepantasan untuk tidak memaafkan
sesamanya..? Memaafkan adalah kontrakku seumur hidup. Sesudah engkau melakukan
kesalahan, ketika engkau sedang melakukan kesalahan, ataupun sebelum engkau melakukan
kesalahan –aku sudah memaafkanmu. Sekurang-kurangnya karena kebutuhan untuk
diampuni Allah Swt jauh lebih besar dari diriku sendiri ini. Betapa mungkin aku
pernah berani tidak memaafkanmu..?”.
Pada lapisan
hukum atau Fiqh Agama, memaafkan bukan kewajiban, melainkan
dianjurkan dengan sangat, dengan tujuan agar manusia menapaki kemungkinan untuk
meningkat ke kebesaran jiwa dan kemuliaan hidup. Mungkin ini
‘strategi kebudayaan’. Kalau memaafkan itu wajib, maka tidak akan berlangsung
dialektika tertentu diantara manusia. Kita menjadi tidak akan meminta maaf
kepada siapa pun karena toh setiap orang wajib memaafkan kesalahan-kesalahan
kita. Situasi mental demikian akan membuat kita tidak apresiatif terhadap kewajiban
hubungan sosial, menjadi tidak tahu diri dan kehilangan sejumlah ukuran sosial.
Jadi, tindakan memaafkan tidak dijadikan pasal dalam hukum obyektif : ia
diserahkan kepada dinamika pemahaman dan penyikapan moral atau akhlaq setiap
manusia.
Akan tetapi
pada tataran moral, memaafkan itu “wajib”, karena akal pikiran manusia dan rasa
kebersatuan antar manusia menyimpulkannya demikian. Memaafkan dalam konteks
moral bergantung pada subyek masing-masing manusia : ia adalah hukum subyektif.
Sebagaimana kalau anda menjumpai anak-anak mengasong dipingggiran jalan :
secara fiqh anda tidak wajib menolong mereka, tapi secara akhlaq wajib.
Artinya kalau anda tidak menyantuni mereka, anda tidak dipersalahkan oleh fiqh,
tapi anda disebut tidak berakhlaq oleh ukuran moral.
Tinggal terserah
anda setiap manusia, apakah ia memiliki standar minimal fiqh, ataukah
anda mengikuti kriteria dari tugas profetik Rasulullah Saw : yakni
menyempurnakan akhlaq, menaikkan derajat manusia dari fiqh ke akhlaq,
agar mencapai puncaknya yakni taqwa. Tetapi kita mengerti persis, untuk
mencapai manusia fiqh saja betapa susahnya, terutama dalam tatanan hidup
dan situasi kebudayaan yang semakin berangkat sekular semacam ini. Apalagi mencapai
tatanan manisia akhlaq dan lebih-lebih lagin manusia taqwa.
Padahal,
sesudah anda mencapai takaran manusia taqwa, anda akan menemukan kenikmatan
yang tidak bisa dibayangkan oleh segala daya upaya akal maupun pengimajinasian
perasaan. Pada akhirnya akan menjelma menjadi kenikmatan yang menggetarkan,
menjadi keindahan dan keajaiban yang luar biasa.
Saudara-saudaraku,
ditengah hari-hari indah ini, betapa indahnya jika kita gali berbagai ruh
keindahan, dengan cara menemukan konteks-konteks yang berbagai-bagai dalam hal
memaafkan dan dimaafkan. Mohon maafkan saya, dan saya berjanji membayar segala
sesuatu yang menjadi syarat permaafan Anda. Adapun anda pasti saya maafkan,
baik yang sudah bersalah maupun yang belum bersalah. Memaafkan adalah kontrak
abadi kehidupan saya, karena betapa malunya saya dihadapan Allah Swt kalau
sampai tidak sampai memaafkan yang Ia sendiri begitu sangat Pemurah untuk
memaafkan. Itupun jika memang ada yang bersalah kepada saya. Tapi kelihatannya kok
tidak begitu ada. Wallahu A’lam,..