قال رســـول الله صلى الله عليـــه وسلـــم

ان اولـــى النـــاس بـــى منزلة يوم القيـــامة اڪثرهم علـــى صلاة

اللهم صل عـلـــے سيـــــدنـا محمـــد وعـلـــے ال سيـــــدنـا محمـــد


▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

Memaafkan : Dari Kewajiban ke Kemuliaan


Bersegera Marah Untuk Bersegera Mengampuni


Allah Swt mensifati dirinya dengan sekurang-kurangnya empat watak atau sifat ‘sosial’ yang secara langsung menunjukkan kepemaafan-Nya. Keempatnya yakni at-Tawwab (Dzat Yang Maha Menerima Taubah), al-‘Afuwwu (Yang Maha Memaafkan), al-Ghafur dan al-Ghaffar (Yang masing-masing berarti Dzat Yang Maha Mengampuni, namun kodrat-Nya mungkin berbeda). Disekelilingnya terdapat banyak sifat lain yang indikatif terkadap sifat memaafkan. Misalnya ar-Rahman (Yang Maha Pengasih), ar-Rahim (Yang Maha Penyayang, al-Lathif (Yang Maha Lembut), ar-Ra’uf (Yang Maha Berbelas Kasih, al-Wadud (Yang Maha Penabur Karunia), as-Syakur (Yang Maha Pensyukur), as-Salam (Maha Penjamin Keselamatan), al-Mu’min (Maha Pengaman), al-Fattah (Maha Pembuka) dan lain sebagainya.

‘Afuwwu mungkin menunjukkan konteks standar dan permaafan, sementara tawwab disediakan oleh Allah Swt dalam diri-Nya buat peristiwa-peristiwa yang lebih besar, dimana manusiaperobatan dalam arti mendasar dan menyeluruh. Ghafur selalu dibarengkan oleh-Nya dengan sifat  Rahim (Ghafur-Rahim) : konteksnya lebih ‘sosial’ dibanding Ghaffar, Rahman menjelaskan sifat personal ; bahwa ada atau tidak ada yang perlu dikasihi, Allah Swt sendiri tetap Dzat Yang Maha Pengasih, namun tatkala menyebut diri-Nya Rahim ; Dzat Yang Maha Penyayang, ada sebab-sebab ‘historis’ untuk menerapkannya. Demikian juga mestinya nuansa Ghaffar.

Sementara itu, memakai pendekatan intelektual-logis maupun rasa, kita menangkap bahwa sifat-sifat-Nya yang diatas saya sebutkan indikatif terhadap pemaafan dan pengampunan, senantiasa berlaku berlaku untuk mengolah proses pembersihan dan penyucian diri manusia, melalui kemungkinan dimaafkan dan diampuni oleh-Nya. Kita membayangkan : dengan sifat kelembutan-Nya, kasih dan sayang-Nya, penaburan Karunia-Nya, penjaminan keamanan dari-Nya –betapa mungkin Allah Swt akan tega tidak memaafkan dan mengampuni kita, kecuali untuk dosa-dosa kita yang secara tegas Ia menyatakan tak bisa diampuni..?. Tapi tentu saja sepanjang sejarah Islam terdapat ratusan tafsir atas sifat-sifat itu, yang resmi maupun yang liar, dan yang dilakukan oleh siapa saja dalam pengalaman sehari-hari.

Kepada kekasih-kekasih-Nya, Allah swt selalu cepat marah dan menegur kalau mereka melakukan kesalahan. Kenapa..? barangkali karena Ia juga ingin segera menerima pengajuan pertobatan, kemudian ingin juga segera memaafkan dan menngampuni. Sementara kepada manusia-manusia yang berprilaku memusihi-Nya, Allah Swt cenderung membiarkannya berpanjang-panjang dalam kesalahannya, tidak menegur atau mempperingatkannya, karena mungkin memang tidak ada rancangan tahap berikutnya yakni memaafkan dan mengampuni.

Manusia Fiqh, Manusia Akhlaq, Manusia Taqwa

Mungkin kita bersalam-salaman Lebaran dala hati Anda bergumam : “Sudah pasti aku memaafkanmu dan aku berharap sudah pasti pula engkau memaafkanku –Dengan atau tanpa pertemuan dan ucapan seperti ini. Allah Swt saja menyediakan empat sifat pemaaf, bagaimana mungkin manusia memiliki kepantasan untuk tidak memaafkan sesamanya..? Memaafkan adalah kontrakku seumur hidup. Sesudah engkau melakukan kesalahan, ketika engkau sedang melakukan kesalahan, ataupun sebelum engkau melakukan kesalahan –aku sudah memaafkanmu. Sekurang-kurangnya karena kebutuhan untuk diampuni Allah Swt jauh lebih besar dari diriku sendiri ini. Betapa mungkin aku pernah berani tidak memaafkanmu..?”.

Pada lapisan hukum atau Fiqh Agama, memaafkan bukan kewajiban, melainkan dianjurkan dengan sangat, dengan tujuan agar manusia menapaki kemungkinan untuk meningkat ke kebesaran jiwa dan kemuliaan hidup. Mungkin ini ‘strategi kebudayaan’. Kalau memaafkan itu wajib, maka tidak akan berlangsung dialektika tertentu diantara manusia. Kita menjadi tidak akan meminta maaf kepada siapa pun karena toh setiap orang wajib memaafkan kesalahan-kesalahan kita. Situasi mental demikian akan membuat kita tidak apresiatif terhadap kewajiban hubungan sosial, menjadi tidak tahu diri dan kehilangan sejumlah ukuran sosial. Jadi, tindakan memaafkan tidak dijadikan pasal dalam hukum obyektif : ia diserahkan kepada dinamika pemahaman dan penyikapan moral atau akhlaq setiap manusia.

Akan tetapi pada tataran moral, memaafkan itu “wajib”, karena akal pikiran manusia dan rasa kebersatuan antar manusia menyimpulkannya demikian. Memaafkan dalam konteks moral bergantung pada subyek masing-masing manusia : ia adalah hukum subyektif. Sebagaimana kalau anda menjumpai anak-anak mengasong dipingggiran jalan : secara fiqh anda tidak wajib menolong mereka, tapi secara akhlaq wajib. Artinya kalau anda tidak menyantuni mereka, anda tidak dipersalahkan oleh fiqh, tapi anda disebut tidak berakhlaq oleh ukuran moral.

Tinggal terserah anda setiap manusia, apakah ia memiliki standar minimal fiqh, ataukah anda mengikuti kriteria dari tugas profetik Rasulullah Saw : yakni menyempurnakan akhlaq, menaikkan derajat manusia dari fiqh ke akhlaq, agar mencapai puncaknya yakni taqwa. Tetapi kita mengerti persis, untuk mencapai manusia fiqh saja betapa susahnya, terutama dalam tatanan hidup dan situasi kebudayaan yang semakin berangkat sekular semacam ini. Apalagi mencapai tatanan manisia akhlaq dan lebih-lebih lagin manusia taqwa.

Padahal, sesudah anda mencapai takaran manusia taqwa, anda akan menemukan kenikmatan yang tidak bisa dibayangkan oleh segala daya upaya akal maupun pengimajinasian perasaan. Pada akhirnya akan menjelma menjadi kenikmatan yang menggetarkan, menjadi keindahan dan keajaiban yang luar biasa.

Saudara-saudaraku, ditengah hari-hari indah ini, betapa indahnya jika kita gali berbagai ruh keindahan, dengan cara menemukan konteks-konteks yang berbagai-bagai dalam hal memaafkan dan dimaafkan. Mohon maafkan saya, dan saya berjanji membayar segala sesuatu yang menjadi syarat permaafan Anda. Adapun anda pasti saya maafkan, baik yang sudah bersalah maupun yang belum bersalah. Memaafkan adalah kontrak abadi kehidupan saya, karena betapa malunya saya dihadapan Allah Swt kalau sampai tidak sampai memaafkan yang Ia sendiri begitu sangat Pemurah untuk memaafkan. Itupun jika memang ada yang bersalah kepada saya. Tapi kelihatannya kok tidak begitu ada. Wallahu A’lam,..




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

ﻠيس اﻠفٺــے من يقول کان ابــــے ۞ لکن اﻠفٺــــے من يقول هـا انــــــا

Bukanlah Pribadi Seorang Pemuda Itu Yang Mengatakan : “Kae Hlo Bapakku..!

Tapi, Seorang Pemuda Sejati Itu Yang Berkata : “Iki Hlo Aku..!”

By Myself