قال رســـول الله صلى الله عليـــه وسلـــم

ان اولـــى النـــاس بـــى منزلة يوم القيـــامة اڪثرهم علـــى صلاة

اللهم صل عـلـــے سيـــــدنـا محمـــد وعـلـــے ال سيـــــدنـا محمـــد


▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

Makna Diam dan Bicara



Cerita dibawah ini mungkin bisa digunakan sebagai referensi bagi penceramah agama dalam meberikan pencerahan kepada masyarakat :

Konon, ada seorang penceramah terkenal yang ceramahnya selalu dinantikan puluhan ribu jamaah yang bermaksud untuk memperkenalkan model ceramah yang lain, karena selama ini model ceramah kebanyakan monoton, yaitu hanya peran aktif penceramahnya saja.

Pada kesempatan pertama, setelah mengucapkan salam, dia bertanya kepada hadirin. “Apakah saudara-saudara nantinya mengerti dengan apa yang akan saya sampaikan..?”.

Tanpa berfikir panjang, para hadirin mengatakan : “Tidak”.

Mendengar jawaban tersebut, penceramah itu mengatakan : “kalau begitu saya turun saja, karena untuk apa saya harus berceramah sedangkan saudara nanti tidak mengerti dengan apa yang saya sampaikan”. Kemudian dia salam dan turun dari mimbar.

Maka bingungkah para hadirin serta paniklah panitia acara tersebut karena apa yang dilakukan penceramah tadi berbeda dengan kebiasaan yang telah terjadi. Serta merta, ketua panitia meminta kesediaan penceramah tersebut untuk naik mimbar lagi dan memberikan ceramahnya. Setelah dibujuk cukup lama, maka bersedialah penceramah itu naik lagi kemimbar. Tentu saja hadirin khususnya panitia merasa bergembira dengan kesediaan penceramah tersebut.

Setelah mengucapkan salam, kemudian beliau menarik nafas sebentar dan bertanya kembali kepada hadirin, “Apakah saudara-saudara nantinya sudah mengerti dengan apa yang saya sampaikan..?”.

Karena takut kejadian pertama terulang kembali, maka dengan serentak mereka menjawab : “Yaaa”.

Mendengar jawaban tersebut, maka penceramah itu mengatakan, “Kalau begitu saya turun lagi saja, untuk apa saya berceramah kepada anda, sementara anda sudah mengetahui tentang apa yang saya sampaikan nantinya”. Karuan saja, para hadirin dan panitia terkejut dan bertanya kepada penceramah tersebut apakah tidak salah apa yang dilakukannya. Untuk kali kedua, maka panitia membujuk kepada penceramah agar merevisi apa yang telah diucapkannya karena begitu banyak hadirin yang telah menunggu ceramahnya.

Setelah berfikir cukup lama ditambah dengan desakan panitia dan hadirin, maka penceramah itu naik lagi ke mimbar. Seperti sebelumnya, setelah mengucapkan salam, kemudian ia bertanya kembali, “Apakah saudara-saudara nantinya mengerti tentang apa yang saya sampaikan..?”.

Mendengar pertanyaan yang hamper sama dalam tiga kali berturut-turut, maka bingunglah para hadirin,. Sebagian ada yang mengatakan sudah dan sebagian mengatakan belum. Yang sudah menyalahkan yang belum dan yang belum menyalahkan yang sudah. Riuhlah suasana acara tersebut. Setelah agak reda, maka dengan nada kalem berbicarah penceramah itu, “Kalau begitu, tolong bagi yang sudah tahu memberitahukan kepada yang belum tahu, saya turun saja”. Kemudian dia mengucapkan salam dan turun lagi dari mimbar.

Cerita sederhana diatas sebenarnya bila ditelusuri lebih jauh dapat difungsikan sebagai pembelajaran yang positif bagi masyarakat yang sudah terlanjur menilai bahwa transformasi ilmu itu harus selalu melalui untaikan kata-kata. Hal ini sekaligus juga bias dimaknai bahwa proses pengenalan dan transformasi bisa melalui berbagai media, baik media yang “Diam’ maupun media yang “Bicara”. Apa yang dilakukan penceramah diatas dapat dikategorikan sebagai media “Diam” dalam meberikan ceramahnya. Cara pandang seperti ini memang kurang memasyarakat yang sudah memiliki kecenderungan tersendiri dalam cara melakukan penilaian.

Seperti halnya bagaimana menanggapi sikapdiam seseorang yang sering kali dianggap bahwa orang tersebut bodoh dan tidak memiliki kemampuan apa-apa. Namun jarang yang memahami bahwa kadang kala ada sebagian orang yang cenderung memilih diam dan bukan berarti ‘diam’ belaka, namun diharapkan melalui media ‘diam’ ini seseorang dapat menggunakan nalarnya secara mendalam, panjang dan efektif. Mulutnya diam namun otaknya bicara. Sekaligus merupakan media untuk mempersiapkan agar apa yang akan dikatakannya nanti dipikirkan terlebih dahulu secara mendalam, sehingga apa yang diucapkannya nanti benar-benar memiliki makna yang berarti.

Kehati-hatian dalam pembicaraan ini bukan tidak bermaksud apa-apa, setidaknya seperti uraian diatas tadi, yakni menghindarkan dari usaha ‘manipulasi’ kesan, yakni menciptakan kesan yang baik dari uraian kata-katanya. Selain itu, menghindarkan diri dari ucapan sia-sia, kebohongan dan motif ketidak jujuran, seperti yang dikatakan oleh seorang pakar berikut :

Ucapan yang sia-sia akan menghadirkan kehinaan dan kebencian, karena disatu sisi merupakan tanda ketidakjujuran dan kepura-puraan dan disisi lain adalah hasil dari kebodohan dan ketidak tahuan. Orang yang selalu mengaku dirinya sebagai orang yang berakhlaq mulia, justru adalah orang yang menghindarkan diri dari hal tersebut. Orang yang tidak henti-hentinya membicarakan keberhasilan, kecemerlangan otak dan kekuatannya, bisa dipastikan bahwa dia tidak memilikinya. Lebih jauh lagi, simpanlah dalam ingatan anda bahwa menipu diri dan membual tiadk akan berlangsung lama. Kebenaran pada akhirnya akan tersingkap, mengakibatkan pelaku dusta kehilangan muka dan reputasi.

Kuantitas pembicaraan seseorang tidak serta merta menunjukkan tingkat kualitas pembicaraannya. Makin gterfikirkan serta makin mendalam apa yang akan diungkapkannya, biasanya makin banyak pertimbangan. Suatu yang spontanitas baik yang terfikir maupun terucapkan cenderung kurang mengisi kewaspadaan.

Diam dan bicara memang sepertinya masalah sepele belaka, namun karena kebiasaan kita yang menganggap sepele dan tidak pernah memikirkan makna terjauh dari sesuatu yang sepele, bisa jadi menjadikan kita ‘tersepelekan’ oleh masalah-masalah tersebut. Wallahu A’lam,..




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

ﻠيس اﻠفٺــے من يقول کان ابــــے ۞ لکن اﻠفٺــــے من يقول هـا انــــــا

Bukanlah Pribadi Seorang Pemuda Itu Yang Mengatakan : “Kae Hlo Bapakku..!

Tapi, Seorang Pemuda Sejati Itu Yang Berkata : “Iki Hlo Aku..!”

By Myself