Idul Adha yang biasa disebut Hari Raya Qurban yang dilaksanakan oleh segenap kaum muslimin di seluruh dunia setiap tanggal 10 Dzulhijjah merupakan suatu hari raya yang penuh dengan simbol dan makna pengorbanan manusia yang tidak akan pernah padam dan musnah selama manusia masih mempunyai cita-cita hidup yang luhur di sisi Khaliqnya. Pada hari raya tersebut bagi yang mampu biasanya melaksanakan ibadah qurban yaitu salah satu ibadah yang telah ditentukan kaifiyahnya dalam agama yang bertujuan semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Qurban termasuk ibadah tertua dalam sejarah kehidupan manusia, sejak generasi peretama yaitu berasal dari dua putera Nabi Adan as, Habil dan Qabil yang mempersembahkan qurban mereka kepada Allah Swt. Hanya saja ibadah qurban yang diperintahkan waktu itu diseduaikan dengan situasi zamannya. Qabil sebagai petani diperintahkan untuk berqurban dengan dengan hasil pertaniannya sedangkan Habil sebagai peternak diperintahkan melaksanakan qurban dengan ternak yang dipeliharanya. Qurban Habil diterima Allah Swt karena didasari dengan ketulusan hati yang ikhlas semata-mata mengharapkan ridho Allah Swt, sedangkan qurban Qabil ditolak karena didasari perasaan iri dan dengki kepada saudaranya (Habil) yang pada akhirnya Qabil membunuh Habil. Peristiwa ini diabadikan Allah Swt dalam Surat Al-Maidah : 27-31.
Dalam perjalanan sejarah, ibadah qurban mengalami penyimpangan-penyimpangan tidak lagi dimaksudkan sebagai sarana pengabdian kepada Allah Swt akan tetapi dijadikan “Upeti” untuk “Membujuk Tuhan Tuhan Penguasa alam” tidak murka kepada manusia. Ibadah qurban dislelewengkan sebagai alat untuk menolak malapetaka, yang diqurbankan pun manusia makhluk paling mulia dari sekalian ciptaan-Nya. Salah satu contoh sejarah mencatat, di Mesir Kuno yang dianggap sebagai daerah awal peradaban manusia , mempersembahkan gadis tercantik untuk oiris (Dewi Sungai Nil). Di Kan’an Babilonia Kuno (Sekarang Irak) manusia mengorbankan bayi-bayi yang tidak berdosa untuk Dewa Baal. Di Meksiko, merupakan kebiasaan Suku Aztec menyerahkan jantung dan darah manusia untuk Dewa Matahari, Di eropa Utara, orang-orang Viking yang bertempat tinggal di Skandinavia mengorbankan pemuka agama mereka untuk Dewa Perang Odini.
Sekitar abad ke 18 SM, Nabi Ibrahim As hidup dan diutus Allah Swt untuk mengembalikan hakikat qurban kepada asalnya yang universal. Lewat sebuah mimpi, Nabi Ibrahim As diperintah Allah Swt untuk menyembelih Putera satu-satunya Nabi Ismail As. Ketika Nabi Ismail As sudah diap untuk disembelih, Allah Swt dengan kekuasaanya segera menggantinya dengan seekor domba. Manusia terlalu mulia untuk dikorbankan kepadanya. Lewat Nabi Ibrahim As Allah Swt mengajarkan hal ini dan diabadikan di Al-Qur’an Surat Ash-Shaffat ayat 102-107 ysng merupakan ajaran sangat revolusioner pada waktu itu. Nabi Ibrahim As mengembalikan hakikat dan esensi qurban kepada bentuk aslinya.
Penyembelihan binatang ternak ini pun bukanlah semata-semata rirual membagi daging kepada fakir miskin saja melainkan ada nilai universal yang terkandung dibalik penyembelihan itu. Dalam Surat Al-hajj ayat 37, Allah Swt telah menegaskan bahwa daging dan darah binatang ternak yang diqurkankan sekali-kali tidak sampai kepada Allah, akan tetapi rasa ketaqwaan manusialah yang dapat menvapainya. Dalam rangka upaya mendekatkan diri kepada Allah, kita juga harus mendekatkan hati kepada manusia dan berbagi kebahagiaan kepada sesama saudara kita yang kurang beruntung. Itulah sebabnya Nabi melarang seseorang yang mampu nerkurban tapi enggan melakukan sholat Id bersama-sama umat Islam lainnya karena orang tersebut tidak memiliki kepekaan dan kepedulian sosial, sebagaimana disebutkan dalam sabdanya yang diberitakan Ahmad dari Ibnu Majah dari Abu Hurairah Ra : ”Barangsiapa memiliki keluasan mampu berqurban, tetapi tidak mau berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat kami shalat”.
Melalui ibadah qurban khususnya dan ibadah-ibadah lain, Allah Swt mengingatkan kita untuk kembali merenungkan kedudukan kita sebagai hamba Allah Swt yang tergantung kepada-Nya sehingga tidak ada kemutlakan pada diri manusia. Berdasarkan hal demikian manusia dapat menangkap pesan moral bahwa manusia diciptakan allah Swt sebagi makhluk yang secara alami memiliki kesadaran kamanusiaan dan berwatak sosial.
Allah Swt mengingatkan bahwa kita adalah makhluk yang harus mempunyai tanggung jawab sosial, dan nikmat-nikmat yang telah Allah Swt berikan kepada kita juga berdimensi dan berfungsi sosial. Kualitas keimanan kita tidak cukup hanya dengan optimalnya kemampuan kita mewmenuhi kebutuhan diri sendiri terlepas dari perhatian terhadap keadaan orang-orang sekitar kita. Kualitas keimanan kita justru dapat dilihat dari kadar kepedulian kita terhadap nasib masyarakat yang ada disekitar kita. Rosulullah saw menyatakan dalam sabdanya : “Tidaklah benar-benar beriman siapapun diantara kalian sehinnga mencintai saudaranya sebagimana ia mencintai dirinya sendiri”.
Kepedulian kita terhadap nasib masyarakat di sekitar kita dan kesediaan kita menyisihkan sebagian nikmat yang diberikan Allah Swt kepada kita untuk kepentingan peningkatan kualitas hidup mereka, sesungguhnya adalah bagian dari ibadah kita untuk mendapat ridho Allah Swt. Menyisihkan sebagiabn dari nikmat Allah yang kita miliki tidak selalu mudah. Allah Swt mengingatkan bahwa syaitan senantiasa membisikkan kedalam hati perasaan takut miskin sekaligus mendorong untuk pelit dan rakus mengumpulkan harta walaupun harus melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap ketentuan moral dan peraturan-peraturan. Dalam Al-Qur’an Allah Swt telah mengingatkan dsalam Surat Al Baqoroh ayat 268 : “Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir) sedangkan Allah menjanjiukan untukmmu ampunan dari pada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
Melalui ibadah qurban dan ibadah lainnya yang kita laksanakan setiap tahun, Allah Swt secara simbolis mengingatkan kita untuk memiliki kesadaran kemanusiaan dan kepedulian sosial. Kesadaran kemanusiaan serta kepedulian sosial itu adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan iman kita.
Melalui ketulusan hati dan keluhuran budi yang diberikan Allah Swt pada kita, dapat tumbuh di dalam diri kita masing-masing. Dengan semakin dekat dengan Allah kita akan semakin memiliki rasa kemanusiaan dan kepedulian sosial. Pengorbanan yang dicontohkan Nabi Ibrahim As dan Nabi Ismail As menggambarkan ketaatan dan pengabdian yang luar biasa keduanya kepada Allah Swt dan sekaligus perlawanan atas ketertindasan manusia oleh keangkuhan dan keangkaramurkaan dirinya. Pengorbanan dengan sombolisme binatang juga bermakna menumbuhkan nilai-nilai kepada manusiaan pada diri individu, pembebasan manusia dari sifat-sifat kebinatangan, suatu sifat yang telah menyebabkan manusia terpenjara dalam kemanusiaanya sendiri, enggan berbagi dan toleran terhadap eksistensi dan hak manusia lain. Wallahu A’lam,..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar