Ada seseorang yang mengajukan pertanyaan : “Benarkah Allah swt maha kuasa ? Jika benar, kuasakah Allah swt untuk menciptakan “Sesuatu” yang sama dengan Allah swt sendiri ?”, atau “Benarkah Allah swt maha kuasa ? Jika benar, maka mampukah Dia menciptakan sebongkah batu yang sangat besar, hingga Allah swt sendiri tidak sanggup untuk mengangkatnya ?”, atau berkata : “Jika benar Allah swt maha Kuasa, maka kuasakah Dia menghilangkan Diri-Nya hanya dalam satu jam saja ?”.
Entah dari mana pertanyaan buruk semacam itu mula-mula dimunculkan. Yang jelas, jika itu datang dari luar Islam maka dapat kita pastikan bahwa tujuannya adalah untuk menyesatkan orang-orang Islam. Namun jika yang menyebarkan pertanyaan tersebut orang Islam sendiri maka hal itu jelas menunjukan bahwa orang tersebut adalah orang yang sama sekali tidak memahami tauhid, dan tentunya pengakuan bahwa dirinya sebagai seorang muslim hanya sebatas di mulutnya saja. Ini adalah contoh kecil dari apa yang dalam istilah bahwa Ilmu Kalam telah mengalami distorsi. Padahal, jawaban bagi pertanyaan sesat tersebut adalah bahasan sederhana dalam Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam, ialah bahwa hukum akal terbagi kepada tiga bagian :
01. Pertama, Wâjib ‘Aqly yaitu sesuatu yang wajib adanya, artinya akal tidak dapat menerima jika sesuatu tersebut tidak ada, yaitu keberadaan Allah swt dengan sifat-sifat-Nya.
02. Kedua, Mustahîl ‘Aqly yaitu sesuatu yang mustahil adanya, artinya akal tidak dapat menerima jika sesuatu tersebut ada, seperti adanya sekutu bagi Allah swt.
03. Ketiga, Jâ-iz ‘Aqly atau Mumkin ‘Aqly yaitu sesuatu yang keberadaan dan ketidakadaannya dapat diterima oleh akal, yaitu alam semesta atau segala sesuatu selain Allah swt.
Sifat Qudrah (kuasa) Allah swt hanya terkait dengan Jâ-iz atau Mumkim ‘Aqly saja. Artinya bahwa Allah swt Maha Kuasa untuk menciptakan segala apapun yang secara akal dapat diterima keberadaan atau tidakadanya. Sifat Qudrah Allah swt tidak terkait dengan Wâjib ‘Aqly dan Mustahîl ‘Aqly. Dengan demikian tidak boleh dikatakan : “Apakah Allah swt kuasa untuk menciptakan sekutu bagi-Nya, atau menciptakan Allah swt-Allah swt yang lain ?” Pertanyaan ini tidak boleh dijawab “Iya”, juga tidak boleh dijawab “Tidak”. Karena bila dijawab “Iya” maka berarti menetapkan adanya sekutu bagi Allah swt dan menetapkan keberadaan sesuatu yang mustahil adanya, dan bila dijawab “Tidak” maka berarti menetapkan kelemahan bagi Allah swt. Jawaban yang benar adalah bahwa sifat Qudrah Allah swt tidak terkait dengan Wâjib ‘Aqly dan tidak terkait dengan Mustahîl ‘Aqly.
Contoh kasus lainnya, bahwa suatu ketika datang seorang yang mengaku sangat menyukai filsafat. Setelah ngobrol “basa-basi” dengannya, tiba-tiba pembicaraan masuk dalam masalah teologi, secara khusus membahas tentang kehidupan akhirat. Dan ternyata dalam “otak” orang tersebut, yang kemudian dengan sangat “ngotot” ia pertahankan ialah bahwa kehidupan akhirat pada akhirnya akan “punah”, dan segala sesuatu baik mereka yang ada di surga maupun yang ada di neraka akan kembali kepada Allah swt. “Orang” ini beralasan karena jika surga dan neraka serta segala sesuatu yang ada di dalam keduanya kekal maka berarti ada tiga yang kekal, yaitu Allah swt, surga, dan neraka. Dan jika demikian maka menjadi batal-lah definisi tauhid, karena dengan begitu berarti menetapkan sifat ketuhanan kepada selain Allah swt, dalam hal ini sifat kekal (al-Baqâ’).
Kita jawab : Baqâ’ Allah swt disebut dengan Baqâ’ Dzâty, artinya bahwa Allah swt maha Kekal tanpa ada yang mengekalkan-Nya. Berbeda dengan kekalnya surga dan neraka, keduanya kekal karena dikekalkan oleh Allah swt (Bi Ibqâ-illâhi Lahumâ). Benar, secara logika seandainya surga dan neraka punah dapat diterima, karena keduanya makhluk Allah swt yang memiliki permulaan, akan tetapi oleh karena Allah swt menghendaki keduanya untuk menjadi kekal, maka keduanya tidak akan pernah punah selamanya. Dengan demikian jelas sangat berbeda antara Baqâ’ Allah swt dengan Baqâ’-nya surga dan neraka. Kemudian, dalam hampir lebih dari enam puluh ayat al-Qur’an, baik yang secara jelas (Sharîh) maupun tersirat, Allah swt mengatakan bahwa surga dan neraka serta seluruh apa yang ada di dalam keduanya kekal tanpa penghabisan. Dan oleh karenanya telah menjadi konsensus (Ijmâ’) semua ulama dalam menetapkan bahwa surga dan neraka ini kekal selamanya tanpa penghabisan, sebagaimana dikutip oleh Ibn Hazm dalam Marâtib al-Ijmâ’, Imam al-Hâfizh Taqiyyuddin as-Subki dalam al-I’tibâr Bi Baqâ’ al-Jannah Wa an-Nâr, dan oleh para ulama terkemuka lainnya. Wallahu A’lam,..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar